Cerdas dan Pandai Itu Dua Hal yang Berbeda
Orang pintar belum tentu cerdas, sebaliknya orang cerdas tidak selalu pintar. Pintar berkaitan dengan kemampuan otak dalam berfikir menganalisis masalah dan menyelesaikannya, sedangkan cerdas tidak hanya kemampuan berfikir, tetapi juga dipadukan dengan hati nurani dan spiritual. Jika kepintaran diukur dengan IQ semata, maka kecerdasan tidak hanya IQ tapi EQ dan juga ESQ.
Orang pintar di negeri ini tidak kurang banyaknya, tetapi mereka juga yang membuat negeri ini bobrok. Pelaku korupsi adalah orang-orang jebolan perguruan tinggi. Tidak hanya sarjana saja yang melakukan korupsi dan manipulasi, bahkan profesor pun bisa lupa diri dan ikut terjerat melakukannya. Orang-orang yang berpendidikan tinggi itu jelas pintar-pintar, namun sayang mereka kurang cerdas. Kalau mereka cerdas, jelas mereka tidak akan mau melakukan perbuatan tercela itu, sebab hati nurani dan nilai-nilai spiritual mereka mengatakan perbuatan tersebut berdosa jika dilakukan.
Beberapa tahun yang lalu ITB pernah mencabut status beberapa orang mahasiswa yang terlibat sebagai joki SNMPTN di Makassar. Mahasiswa-mahasiswa tersebut berotak cemerlang, IPK nya rata-rata di atas 3,5. Namun karena godaan uang (dengan alasan butuh uang), mereka mau-maunya menjadi joki. Saya pikir mahasiswa yang menjadi joki tersebut bukan anak yang cerdas, sebab mereka menyalahgunakan kepandaiannya untuk mendapat uang dengan cara tidak halal.
Pernah juga ada cerita tentang kelakuan (sebagian) mahasiswa kami yang tidak menghargai orang lain. Mereka duduk-duduk di depan kelas dan menghalangi dosen lainyang ingin masuk. Ketika ditegur karena menghalangi jalan, mereka bukannya minta maaf, tetapi mengomel dengan berkata ‘lu yang ganggu kami’. Mereka mahasiswa-mahasiswa ITB yang pintar, tetapi menurut saya nol besar dari segi attitude.
Saya sependapat dengan Pak Mahfud MD pada pidatonya di UGM pada bulan September tahun lalu (baca di bawah ini), bahwa pendidikan di Indonesia hanya mencerdaskan otak semata, sementara pendidikan watak dan karakter terabaikan. Akibatnya, kata Mahfud, banyak terjadi kemerosotan moral dan etika dalam masyarakat kita.
Pendidikan kita lebih banyak menghasilkan insinyur tukang ketimbang cendekiawan. Insinyur tukang itu seperti tukang, hanya mengerjakan apa yang disuruhkan majikan kepadanya, nunut saja tanpa mau membantah, sedangkan cendekiawan berpikir lebih kritis dengan menimbang baik atau buruk suatu tindakan.
Pintar saja tidak cukup, kepintaran harus dibarengi dengan kecerdasan. Kita boleh bangga mempunyai anak didik yang pintar, namun kita lebih bangga jika mereka tidak hanya pintar tetapi juga cerdas, dalam arti mempunyai hati nurani, moral dan karakter yang baik.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Prof. Dr. Mahfud MD, S.H., S.U., menyebutkan bahwa pendidikan di Indonesia saat ini tidak mencerdaskan masyarakat. Pendidikan yang diterapkan di berbagai lembaga pendidikan hanya mendidik individu agar memiliki ketajaman otak/berpikir saja. Sementara tidak memberikan pendidikan watak dan karakter. Akibatnya banyak terjadi kemerosotan moral dan etika di tengah kehidupan masyarakat Indonesia.
Kebijakan pendidikan saat ini justru bukan mencerdaskan masyarakat, tetapi hanya membuat orang jadi pandai saja,†tuturnya Senin (17/9)saat mengisi kuliah perdana dihadapan ribuan mahasiswa baru program pascasarjana UGM, di Graha Sabha Pramana (GSP). Pada tahun ajaran 2012/2013, UGM secara resmi menerima sebanyak 4.233 mahasiswa baru program pascasarjana yaitu program S2, S3, dan spesialis.
Mahfud mengatakan bahwa cerdas dan pandai adalah dua hal yang berbeda. Kepandaian hanya menekankan pada kemampuan otak dalam berfikir menganalisis suatu hal secara rasional. Sedangkan kecerdasan merupakan pertemuan antara ketajaman berfikir , watak,dan hati nurani.
Saat ini yang terjadi adalah pendidikan hanya memandaikan individu sehingga banyak bermunculan limbah-limbah pendidikan yang produknya hanya membebani negara, terangnya.
Dalam beberapa dekade terakhir, lanjutnya, pendidikan di Indonesia seperti hanya ditujukan untuk memberikan ijazah dan gelar akademik semata. Karena keduanya masih menjadi ukuran untuk mendapatkan satus formal di pemerintahan maka tidak mengherankan apabila banyak pihak yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh ijazah dan gelar akademik.
Banyak terjadi pelanggaran etika karena yang diinginkan hanya ijazah saja bukan kecerdasan, jelas Mahfud.
Lebih lanjut Mahfud menyampaikan setiap perguruan tinggi harus membangun norma akademik, memperkuat tradisi akademik, serta kegiatan penunjang yang dapat memperkuat profesionalitas dan etika . Ketiga hal tersebut merupakan faktor yang harus ada untuk memperkuat etika keilmuan dalam proses pengembangan pendidikan beretika. Dalam pengembangannya pun harus dilakukan sama kuat karena sumber dari berbagai permasalahan yang ada adalah karena penyelenggaraan pendidikan kita yang keluar dari nilai-nilai etika yang sudah digariskan Undang-undang. Jadi yang ada pendidikan sekarang ini hanya menjadi semacam proses jual beli, katanya.
Sementara sebelumnya, Rektor UGM, Prof. Dr. Pratikno, M.Soc., Sc., dalam sambutannya mengatakan bahwa pendidikan bukanlah hanya sebatas pengetahuan danketerampilan. Namun juga berakitan dengan integritas moral, etika dam karakter kebangsaan.
Menurutnya, permasalahan pendidikan di Indonesia bukan terletak pada kurang pintarnya individunya melainkan kurang pintar sebagai bangsa. Pendidikan seharusnya tidak hanya bersifat mencerdaskan individu, akan tetapi juga mencerdaskan bangsa. Untuk itu UGM juga berkomitmen tidak hanya mencerdaskan individu saja tetapi juga menjadikan bangsa yang cerdas agar menjadi bangsa yang bermartabat, berdaulat dan dihargai di dunia internasional, paparnya. (Humas UGM/Ika)
Orang pintar belum tentu cerdas, sebaliknya orang cerdas tidak selalu pintar. Pintar berkaitan dengan kemampuan otak dalam berfikir menganalisis masalah dan menyelesaikannya, sedangkan cerdas tidak hanya kemampuan berfikir, tetapi juga dipadukan dengan hati nurani dan spiritual. Jika kepintaran diukur dengan IQ semata, maka kecerdasan tidak hanya IQ tapi EQ dan juga ESQ.
Orang pintar di negeri ini tidak kurang banyaknya, tetapi mereka juga yang membuat negeri ini bobrok. Pelaku korupsi adalah orang-orang jebolan perguruan tinggi. Tidak hanya sarjana saja yang melakukan korupsi dan manipulasi, bahkan profesor pun bisa lupa diri dan ikut terjerat melakukannya. Orang-orang yang berpendidikan tinggi itu jelas pintar-pintar, namun sayang mereka kurang cerdas. Kalau mereka cerdas, jelas mereka tidak akan mau melakukan perbuatan tercela itu, sebab hati nurani dan nilai-nilai spiritual mereka mengatakan perbuatan tersebut berdosa jika dilakukan.
Beberapa tahun yang lalu ITB pernah mencabut status beberapa orang mahasiswa yang terlibat sebagai joki SNMPTN di Makassar. Mahasiswa-mahasiswa tersebut berotak cemerlang, IPK nya rata-rata di atas 3,5. Namun karena godaan uang (dengan alasan butuh uang), mereka mau-maunya menjadi joki. Saya pikir mahasiswa yang menjadi joki tersebut bukan anak yang cerdas, sebab mereka menyalahgunakan kepandaiannya untuk mendapat uang dengan cara tidak halal.
Pernah juga ada cerita tentang kelakuan (sebagian) mahasiswa kami yang tidak menghargai orang lain. Mereka duduk-duduk di depan kelas dan menghalangi dosen lainyang ingin masuk. Ketika ditegur karena menghalangi jalan, mereka bukannya minta maaf, tetapi mengomel dengan berkata ‘lu yang ganggu kami’. Mereka mahasiswa-mahasiswa ITB yang pintar, tetapi menurut saya nol besar dari segi attitude.
Saya sependapat dengan Pak Mahfud MD pada pidatonya di UGM pada bulan September tahun lalu (baca di bawah ini), bahwa pendidikan di Indonesia hanya mencerdaskan otak semata, sementara pendidikan watak dan karakter terabaikan. Akibatnya, kata Mahfud, banyak terjadi kemerosotan moral dan etika dalam masyarakat kita.
Pendidikan kita lebih banyak menghasilkan insinyur tukang ketimbang cendekiawan. Insinyur tukang itu seperti tukang, hanya mengerjakan apa yang disuruhkan majikan kepadanya, nunut saja tanpa mau membantah, sedangkan cendekiawan berpikir lebih kritis dengan menimbang baik atau buruk suatu tindakan.
Pintar saja tidak cukup, kepintaran harus dibarengi dengan kecerdasan. Kita boleh bangga mempunyai anak didik yang pintar, namun kita lebih bangga jika mereka tidak hanya pintar tetapi juga cerdas, dalam arti mempunyai hati nurani, moral dan karakter yang baik.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Prof. Dr. Mahfud MD, S.H., S.U., menyebutkan bahwa pendidikan di Indonesia saat ini tidak mencerdaskan masyarakat. Pendidikan yang diterapkan di berbagai lembaga pendidikan hanya mendidik individu agar memiliki ketajaman otak/berpikir saja. Sementara tidak memberikan pendidikan watak dan karakter. Akibatnya banyak terjadi kemerosotan moral dan etika di tengah kehidupan masyarakat Indonesia.
Kebijakan pendidikan saat ini justru bukan mencerdaskan masyarakat, tetapi hanya membuat orang jadi pandai saja,†tuturnya Senin (17/9)saat mengisi kuliah perdana dihadapan ribuan mahasiswa baru program pascasarjana UGM, di Graha Sabha Pramana (GSP). Pada tahun ajaran 2012/2013, UGM secara resmi menerima sebanyak 4.233 mahasiswa baru program pascasarjana yaitu program S2, S3, dan spesialis.
Mahfud mengatakan bahwa cerdas dan pandai adalah dua hal yang berbeda. Kepandaian hanya menekankan pada kemampuan otak dalam berfikir menganalisis suatu hal secara rasional. Sedangkan kecerdasan merupakan pertemuan antara ketajaman berfikir , watak,dan hati nurani.
Saat ini yang terjadi adalah pendidikan hanya memandaikan individu sehingga banyak bermunculan limbah-limbah pendidikan yang produknya hanya membebani negara, terangnya.
Dalam beberapa dekade terakhir, lanjutnya, pendidikan di Indonesia seperti hanya ditujukan untuk memberikan ijazah dan gelar akademik semata. Karena keduanya masih menjadi ukuran untuk mendapatkan satus formal di pemerintahan maka tidak mengherankan apabila banyak pihak yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh ijazah dan gelar akademik.
Banyak terjadi pelanggaran etika karena yang diinginkan hanya ijazah saja bukan kecerdasan, jelas Mahfud.
Lebih lanjut Mahfud menyampaikan setiap perguruan tinggi harus membangun norma akademik, memperkuat tradisi akademik, serta kegiatan penunjang yang dapat memperkuat profesionalitas dan etika . Ketiga hal tersebut merupakan faktor yang harus ada untuk memperkuat etika keilmuan dalam proses pengembangan pendidikan beretika. Dalam pengembangannya pun harus dilakukan sama kuat karena sumber dari berbagai permasalahan yang ada adalah karena penyelenggaraan pendidikan kita yang keluar dari nilai-nilai etika yang sudah digariskan Undang-undang. Jadi yang ada pendidikan sekarang ini hanya menjadi semacam proses jual beli, katanya.
Sementara sebelumnya, Rektor UGM, Prof. Dr. Pratikno, M.Soc., Sc., dalam sambutannya mengatakan bahwa pendidikan bukanlah hanya sebatas pengetahuan danketerampilan. Namun juga berakitan dengan integritas moral, etika dam karakter kebangsaan.
Menurutnya, permasalahan pendidikan di Indonesia bukan terletak pada kurang pintarnya individunya melainkan kurang pintar sebagai bangsa. Pendidikan seharusnya tidak hanya bersifat mencerdaskan individu, akan tetapi juga mencerdaskan bangsa. Untuk itu UGM juga berkomitmen tidak hanya mencerdaskan individu saja tetapi juga menjadikan bangsa yang cerdas agar menjadi bangsa yang bermartabat, berdaulat dan dihargai di dunia internasional, paparnya. (Humas UGM/Ika)
Nice Post!
BalasHapus